Rabu, 23 Desember 2009

MENIKMATI HIDUP DENGAN SAMPAH

Di kota besar kayak Jakarta ini, orang-orang sudah terbiasa hidup dikelilingi oleh sampah. Kenapa bisa begitu? Sebab, jumlah sampah di Jakarta ini sungguh luar biasa banyaknya dan hampir 58% berasal dari sampah rumah tangga.


Meski ada sebuah kali di kawasan bisnis jalan Sudirman, tetap yang namanya sampah bejibun volumennya. Jadi keharuman parfum para Executive Muda tetap terkalahkan dengan aroma bau sampah yang ada di samping gedung-gedung yang tinggi menjulang di Sudirman.

Dengan jumlah penduduk yang setiap tahun meningkat, diperkirakan pada tahun 2020, sampah yang dihasilkan per hari mencapai sekitar 500 juta kg atau sekitar 190 ribu ton per tahun. Jumlah sampah Jakarta kalo nggak diangkut selama 2 hari akan setinggi Candi Borobudur. Gokil nggak tuh?!



Kalo sudah terbiasa hidup dikelilingi sampah, menghirup aroma kali butek yang penuh dengan sampah sudah nggak masalah. Tapi terbayang kalo tiba-tiba perahu gantung ini terbalik dan penumpangnya nyemplung ke kali, kira-kira mereka mati nggak ya? Bukan mati tenggelam, tetapi kemasukan air kali yang luar biasa hitamnya.

Kamis, 10 Desember 2009

PETUGAS KEBERSIHAN DI BUSWAY ITU BERNAMA TAMARA BLESZYNSKI

Malang betul nasib Tamara Bleszynski. Setelah membintangi film Air Terjun Pengantin, dimana ia tampil seksi, ia bekerja sebagai petugas cleaning service di halte busway. Setidaknya foto diri Tamara membuktikan itu. Lihatlah!





Ah,ini memang cuma terjadi di Indonesia. Orang-orang iseng (bahasa lainnya kreatif)seringkali membuat keisengannya dalam bentuk apa saja, sehingga keisengan itu membuat orang lain tersenyum, bahkan sampai tertawa terbahak-bahak. Ini terjadi di halte busway yang berada di depan kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ada sebuah tempat sampah, dimana di bawah tulisan PETUGAS KEBERSIHAN atau CLEANING SERVICE ON DUTY.

Selasa, 01 Desember 2009

MOTOR AGAIN! MOTOR AGAIN!

Saya senang banget komunitas di Indonesia ini tumbuh pesat. Pasti semua komunitas punya tujuan mulia, termasuk komunitas motor. Kalo aksi sosial mah udah biasa. Yang dipentingkan justru pembelajaran kedisiplinan. Tanpa kedisiplinan, nggak akan mungkin terjadi sebuah lalu lintas yang lancar, selancar air sungai.

Saya seringkali penasaran ingin menanyakan pada seluruh komunitas motor di tanah air ini, apakah ada salah satu agenda komunitas mereka adalah mendidik masalah kedisiplinan berlalu lintas. Kalo pun ada, apakah kemudian direalisasikan di jalan raya? Padahal kalo kita hitung-hitungan, ada 100 komunitas motor, dimana masing-masing punya anggota minimal 50 orang, artinya ada 5.000 orang. Nah, kalo ada 5.000 pengendara motor yang sudah mengikuti pendidikan kedisiplinan dan menerapkan di jalan, maka akan ada 5.000 pengendara motor yang disiplin.

Dari 5.000 pengendara bermotor yang disiplin itu mengajarkan soal kedisiplinan berkendaraan -termasuk mematuhi rambu-rambu-, maka akan ada para pengikutnya. Kalo 1 pengendara mengajarkan ke 1 penggendara motor lain, maka akan ada 1.000 orang pengendara motor yang disiplin. Luar biasa bukan? Sistem ini mirip Multi Level Marketing (MLM).

Sayang seribu kali sayang, sampai detik ini tingkat kedisiplinan kendaraan bermotor nggak berubah, bahkan kayaknya lebih parah. Mungkin sudah terlalu banyak yang punya motor kali ya? Dan karena nggak disiplin, kejadiannya pun kayak begini, deh....


Trotoar sebagai pembatas jalan pun dihajar demi mengejar waktu. Padahal ada belokan yang nggak jauh-jauh amat dari tempat situ.


Meski sudah ada larangan memarkir kendaraan di jalur hijau, tetap aja parkir di situ. akibatnya rumput yang seharusnya tumbuh, eh jadi "botak".


Nggak pernah berniat berhenti di belakang garis zebra cross. Selalu di depan garis atau berada di bawah jembatan, berharap begitu ada kesempatan menggeber motor,ya digeber, meski lampu lalu lintas belum menunjukan warna hijau sebagai tanda silahkan jalan.


 

Saya yakin, mereka melakukan pelanggaran itu atas kesadaran dan kemudian akhirnya menjadi kebiasaan yang dianggap lazim. Entahlah mereka (para pelanggar) sadar juga apa enggak, bahwa mereka mewarisi generasi yang TIDAK DISIPLIN. Betapa tidak, baik anak-anak muda maupun bapak-bapak, ibu-ibu, menjadi langganan melanggar. Anak-anak muda berseragam sekolah, melanggar. Bapak-Bapak atau Ibu-Ibu yang mengantarkan anak-anak mereka sekolah melanggar.

Anak-anak yang masih kecil sudah terbiasa melihat Bapak dan Ibunya menerobos lampu merah, berhenti di garis zebra cross, melawan arus, nggak pake helm, dan aneka pelanggaran lain. Anak-anak mereka terlatih untuk melihat pelanggaran yang terjadi, sehingga mereka pun menyimpulkan...

1. Lampu merah tetap boleh jalan
2. Tanda verdoben tetap bisa dilalui
3. Tidak pakai helm, no problem
4. Naik trotoar, it's OK
5. dll

Itulah Indonesia! Negara muslim terbesar. Yang katanya memiliki sopan santun dan berbudaya luhur.
all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Kamis, 26 November 2009

BUKAN CUMA MULUT YANG KUDU DIISTIRAHATKAN

Kebanyakan kita selalu diminta mengistirahatkan mulut kita. Ini dilakukan agar mulut kita nggak ngomong terus, nggak cerewet, ngga janji sana-sini, nggak membual, ngegombal, dst. Mulut kan butuh istirahat, bo! Ya, nggak?

Nah, ternyata yang diistirahatkan nggak cuma mulut, tapi juga tangan. Sebagai salah satu anggota badan, tangan juga kudu diistirahatkan. Diistirahatkan dari apa? Dari segala macam aktivitas, entah itu aktivitas mencuri duit orang lain, makan, minum, cebokin pantat after boker, dan aktivitas lain yang menggunakan tangan. Ini juga termasuk aktivitas mengerem atau menggeber laju kendaraan, sebagaimana yang dilakukan oleh penggendara motor.



Kemarin sore gue melihat kejadian lucu, yang sebtulnya sudah sering dilakukan oleh para pengendara motor, dan Anda pun pasti juga sering melihat. Seorang pengendara motor menginstirahatan tangannya, karena pegal.

Nah, jadi kita tahu semua sekarang, bukan cuma mulut yang perlu diistirahatkan. Tangan kita pun butuh istirahat, mata juga, kaki, hidung, telinga, dan tentu saja body kita. Tuhan sudah menciptakan siang buat kerja, malam buat tidur.

Kalo kerjanya malam?

Nah itu gue nggak tahu deh. Kalo pekerjaan memang menuntut tidur di siang hari dan baru malam buat kerja, barangkali bisa minta dispensasi sama Tuhan agar mau membalik matahari dan bulannya. Well, selamat beristirahat. Jangan lupa berdoa.

Kamis, 19 November 2009

KEWAJIBAN SEORANG IBU

Peran seorang Ibu itu luar biasa. Kalo saya gambarkan, Ibu kayak punya banyak tangan. Selain menjadi seorang wanita, Ibu punya peran sebagai istri, ibu dari anak-anak, dan juga seorang pegawai. Luar biasa bukan? Jadi saya salut banget pada wanita yang punya banyak peran kayak begitu, ketimbang mengkritisi peran seorang ibu itu sendiri.

Foto di bawah ini merupakan salah satu contoh peran ibu. Kalo saya asumsikan, ibu ini punya usaha, kira-kira sebuah warung jajan. Ia baru belanja beberapa kebutuhan warung, sehingga kardusnya kudu diletakkan di belakang motor. Meski punya usaha, ia tidak meninggalkan perannya sebagai ibu, makanya ia tetap menggendong anaknya yang tertidur pulas di dadanya.



Kalo kita memandang dari perspektif lalu lintas, apa yang ibu ini lakukan jelas sangat berbahaya. Meski sudah diikat dengan kain, tetapi ibu ini tetap kurang memperhatikan keselamatan anak. Namun karena kondisi ini cuma di Indonesia, hal yang dilakukan ibu ini sudah dianggap biasa.

photo copyright by Brillianto K. Jaya

Rabu, 18 November 2009

BUKAN SENI INSTALASI



Yang Anda lihat ini bukan seni instalasi hasil karya maestro tersohor di jagat ini. Yang Anda lihat adalah kantong-kantong plastik berisi sampah rumah tangga. Foto ini saya ambil ketika inspeksi dari gang ke gang di dekat rumah. Ternyata ada kebiasaan warga yang melakukan ini dan saya yakin banyak warga yang juga melakukan hal yang sama.

Kebiasaan memajang kantong-kantong plastik berisi sampah ini barangkali cuma ada di Indonesia. Oleh si pembuat karya seni ini, eh salah maksudnya si pembuang sampah ini, tukang-tukang sampah yang lewat bisa mengambil kantong-kantong itu dan dimasukkan ke gerobak sampah. Beres, kan?

MEMPERSEMPIT RUANG GERAK BENCONG

Barangkali ini cukup positif yang cuma terjadi di Indonesia. Ada sekelompok warga yang merasa terganggu dengan eksistensi Bencong alias "Wanita Jadi-Jadian" alias Wanita enggak, Pria juga enggak. Kalo di negara lain, yang paling dekat di Thailand, Bencong malah dilestarikan dan dikembangbiakkan sebagai komoditi non-migas khususnya di bidang pariwisata.

Tentu Anda pernah lihat manusia-manusia cantik berwujud wanita di Thailand yang ternyata adalah Bencong. Bahkan di negara yang pariwisata seks-nya cukup besar, ada pemilihan Bencong tercantik setiap tahun. Gokil nggak tuh? Nah, Alhamdulillah cuma di Indonesia nggak ada warga yang mendukung Bencong. Mayoritas warga masyarakat masih risih dengan keberadaan Bencong. Nggak heran kalo ada tanda larangan seperti ini di salah satu sudut, dimana biasanya Bencong biasa mangkal dan merayu para konsumen.

"Hai! Hai! Godain kita dong!"

"Ogah,ah!"

ZEBRA CROSS KAYAK KUDA ZEBRA

Nasib kuda zebra gue anggap miris. Bukan karena binatang ini jelek rupanya, tetapi nggak fungsional kayak kuda-kuda lain. Kalo kuda yang lain, kayak kuda pacu, ya buat digunakan buat pacuan kuda. Kalo kuda yang nggak bisa lari sekencang kuda pacu, nasibnya menolong para Kusir buat dijadikan delman. Kuda poni pun difungsikan buat anak-anak naik, keliling-keliling tempat rekreasi.



Nasib miris kuda zebra juga mirip kayak zebra cross. Lihatlah betapa mirisnya polisi yang bela-belain membuat zebra cross supaya ditaati oleh para penggendara bermotor, eh nyatanya dicuekin abis. Baik mobil, apalagi motor sudah nggak menganggap lagi yang namanya zebra cross. Padahal, para penggendara bemotor ini harusnya berhenti di belakang zebra cross. Kenapa? Sebab, fungsi zebra cross adalah buat para pejalan kaki menyebrang jalan. Kondisi kayak begini, cuma di Indonesia!

MENDING MENEROBOS PAGAR DARIPADA LEWAT JEMBATAN PENYEBERANGAN

Entah dari zaman kapan kebiasaan ini berlangsung, tetapi saya yakin bukan sejak zaman Gadjah Mada. Kenapa? Sebab di zaman Gadjah Mada belum ada pagar yang membatasi jalan yang berlawanan arah.

Di Indonesia ini, orang lebih suka menerobos pagar pembatas jalan. Padahal pemerintah sudah membuat jembatan penyebrangan yang pasti menghabiskan dana berjuta-juta itu. Alasannya pasti sederhana, lebih cepat ke tempat tujuan atau capek harus naik tangga dan berjalan cukup jauh. Barangkali ini cuma ada di Indonesia.



Yang kasihan, kalo mobil yang menabrak para penerobos pagar pembatas ini. Kenapa kasihan? Kok mobil dikasihanin? Yaiyalah! Mobil itu pasti nggak salah! Wong, si pejalan kaki sudah disediakan tangga penyeberangan kok. Ironisnya, kalo tertabraknya di bawah jembatan penyebrangan. Kalo itu terjadi, si pemilik mobil yang nggak salah jadi serba salah. Mau kabur takut mobilnya dibakar, eh giliran mau tanggungjawab urusannya bisa panjang. Nggak cuma membawa ke rumah sakit, tapi ikut menanggung biaya rumah sakit. Itu kalo si korban sembuh lagi, kalo cacat? Kalo meninggal?

CEKER PUN ENAK BUAT DIMAKAN

Barangkali cuma di Indonesia aja, anggota tubuh binatang, dalam hal ini ayam, nggak luput buat dimakan. Salah satu anggota tubuh yang dimaksud nggak lain nggak bukan adalah ceker.



Bahkan banyak penjual soto ayam yang bukan lagi cuma menjual soto ayam sebagai menu utamanya, justru sebaliknya, yakni ceker ayam sebagai menu utama. Apakah Anda juga termasuk penikmat ceker ayam? Kalo saya mah, enggak!

Selasa, 17 November 2009

BIAR BUTUT YANG PENTING PUNYA SENDIRI

Buat apa punya kendaraan bagus-bagus, tapi masih ngutang. Mending punya Vespa butut yang penting punya sendiri. Nggak ngutang pula. Ini barangkali prinsip geng Vespa butut dari seluruh Indonesia yang sempat berkumpul di Ancol beberapa waktu lalu.



video copyright by Brillianto K. Jaya

Minggu, 15 November 2009

PEMBOKAT MASA KINI

Globalisasi pasti ada akibatnya. Saat ini dengan mudah orang bisa mengakses media dan selanjutnya melihat aksi-aksi manusia di dunia Barat sana. Dengan pay tv, kita mudah melihat berbagai macam channel, salah satunya Fashion TV yang mempertunjukan tren fashion yang sebenarnya lebih banyak nggak cocoknya diterapkan di Indonesia. Lewat internet, kita dengan mudah mengakses video porno, semi porno, atau berita-berita "sampah".

Bagi mereka yang enggan mengadaptasi, biasanya disebut "kuper" atau "gaptek" atau "konvensional". Bagi mereka yang mengikuti tren dunia, entah itu tren model atau teknologi, mereka katanya dianggap "juara".

Di kompleks dekat rumah gue, banyak pembantu yang sudah mirip dengan gaya majikannya. Gue yakin di tempat elo, bahkan di rumah elo sendiri, Pembokat bisa lebih melek teknologi dan lebih stylist daripada elo sendiri, ya nggak?



Ini kebetulan gw sempat foto Pembokat yang menurut gue layak 'diangkat' jadi majikan. Kenapa? Dari syle-nya, doi sudah memenuhi kriteria: pake hot pants, kaos ketat, dan menggunakan teknologi handphone (pasti bentar lagi beli Blackbarry, karena harganya udah murah).

Hampir tiap pagi, gue lihat Pembokat satu ini selalu bercas-cis-cus dengan handphone-nya (kebetulang gue nggak tahu merek dan tipe handphone-nya). Yang pasti, doi selalu menggunakan hot pants mirip majikannya yang nggak tahu malu mempertontonkan paha di hadapan puluhan orang yang melhatnya. Selain soal gayanya itu, doi selalu membawa seorang anak kecil yang kira-kira usianya 2 tahun gitu deh. Gue yakin anak kecil ini anak majikannya. So, sambil bercas-cis-cus, si Pembokat menyuapi anak kecil itu makanan.

Terus terang, kalo gue punya Pembokat model begini, gue udah langsung PHK. Bukan persoalan memutuskan rezeki orang, tapi ini masalah anak gue, bo!

Barangkali elo semua sefaham sama gue, Pembokat itu tangan kanan kita. Selagi kita sibuk di kantor, Pembokat lah yang menggantikan posisi kita buat menjaga anak-anak kita. Nah, kebayang dong kalo gaya Pembokat kita aja kayak begini -pake hot pants, bercas-cis-cus selagi melakukan kewajibannya memberi makan anak-, gimana mungkin anak kita gak mencontoh?

Itulah globalisasi. Itu pula pengaruh teknologi -sinetron, iklan, dan lain sebagainya. Ini pula yang disebut hak azasi, dimana kita bisa senaknya berpenampilan, mumpung gak ada undang-undang melarang. Dan pada akhirnya, budaya-budaya kita dahulu sudah terasimilasi atau bahkan boleh dikatakan terkalahkan oleh globalisasi itu sendiri. Harusnya kita bisa menentukan integritas kita, bukan negara-negara Barat sana!

foto copyright by Brillianto K. Jaya

SOPIR DI NEGARA GUE

Serba salah jadi Sopir. Ketika ngatuk udah nggak tertahankan, dia harus stand by di dalam mobil. Sebab, kali-kali aja sang Majikan bakal meng-car call si Sopir, maka harus siap sedia menjemput Majikan tersebut. So, si Sopir nggak bisa kemana-mana, even cari kamar atau hotel buat tidur barang semenit pun.

Memang sih, itu tugas Sopir. Kudu stand by dan siap dipanggil setiap saat. Nah, buat menyiasati kondisi kantuk dan kudu stand by itu, Sopir punya solusi yang udah lama mereka lakukan. Cari tempat tidur yang nggak jauh dari mobil. Kalo kebetulan ada musholla di sekitar tempat parkir, ya bisa tidur di situ. Bahkan ada yang sempat mem-blockir satu tempat parkir dan kemudian menggelar terpal buat tidur para Sopir yang stand by ini.



Yang paling sering kalo tempat parkir si Sopir nggak ada musholla atau tempat yang bisa di-booking oleh para Sopir, ya tidur di mobil. Nah, foto yang gue jepret ini terjadi di SCBD. Pasti elo-elo semua udah sering menemukan sopir mobil begini. Tapi menurut gue, Sopir kayak begini gokil juga, bo! Tidur dengan kaki diangkat dan disangkutkan ke bangku depan. Kebayang dong bau jempol si Sopir nempel di sandaran kepala depan mobil Majikan.

“Wah, untung gue nggak punya Sopir!”



Sopir nggak peduli mobil yang ditiduri dengan kaki diangkat dan ngangsang di sandaran kepala bangku depan itu akan membuat “harum” mobil si Majikan. Yang penting buat si Sopir, rasa kantuknya bisa tertanggulangi dengan prima, dan tanggungjawabnya yang kudu stand by setiap saat bisa dilakukan. Mumpung si Majikan nggak lihat, bo!

Anyway, menurut gue bukan salah si Sopir 100% juga sih melakukan itu. Toh, bangku depan pun jarang, bahkan mungkin nggak pernah dipakai si Majikan. Mayoritas Majikan yang mempekerjakan seorang Sopir selalu duduk di bangku belakang, either di bangku sebelah kanan or bangku sebelah kiri. Kebanyakan sih bangku yang ada persisi di belakang si Sopir –terutama kalo Majikannya berjenis kelamin perempuan. Soalnya kalo duduk di bangku belakang sebelah kiri, antara Majikan perempuan dan si Sopir bisa lirik-lirikan mata mereka. Bahkan mungkin kalo lagi lampu merah, si Majikan bisa berpegangan tangan dengan si Sopir. Perselingkuhan pun terjadi. So, selain menyebabkan bau jempol bangku depan, Sopir juga bisa bikin marah Majikan cowok, karena berselingkuh dengan Majikan perempuan.

“Wah, untung gue nggak punya Sopir!”

Sabtu, 14 November 2009

SAMA-SAMA CARI MAKAN

Entah benar atau cuma stereotype kalo karakter orang Indonesia adalah "gak tahu aturan". Bukan cuma rakyatnya yang nggak tahu aturan, pamong praja atau pemerintah daerahnya pun juga sama, nggak tahu aturan.

Trotoar yang seharusnya berfungsi sebagai pejalan kaki, eh dipergunakan bukan semestinya, yakni dijadikan lokasi dagang. Awalnya pasti dimulai dari satu dua pedagang, lama-lama berkat kongkalikong pihak kelurahan atau kecamatan, pedagang mulai bertambah. Akhirnya selurut trotoar pun terisi oleh para pedagang.

Sebagai warga yang suka jalan kaki, saya seringkali kesal dengan pemandangan ini. Trotoar yang dikhususnya buat kita-kita yang berjalan kaki, eh jadi gak ada lagi. Yang tersingkir justru para pejalan kaki, dimana harus berjalan di jalan raya yang sebenarnya cukup berbahaya. Siapa yang bertanggungjawab kalo kita terserempet kendaraan bermotor?

Terus terang bukan saya tidak suka dengan Pedagang sektor informal. Tapi kalo para pedagang ini mengambil hak pejalan kaki, itu yang saya nggak suka. Saya setuju kalo ada kebijakan yang mengusir mereka agar trotoar difungsikan kembali untuk para pejalan kaki.

Pemandangan sebagaimana foto yang saudara-saudara plototin ini pasti banyak terjadi di Indonesia ini. Inilah mengapa saya sebut, orang Indonesia sebagai orang yang "nggak tahu aturan". Buat mereka, yang penting bisa menghasilkan duit, untung gede, soal urusan menyusahkan orang lain, terserah apa kata loe aja.

Aparat pemerintah juga begitu. Mereka juga sama-sama gebleg. Membiarkan para pedagang berjualan di trotoar sedikit demi sedikit, ditarikin retribusi harian, bertahun-tahun dibiarkan, begitu terpilih Gubernur yang punya kebijakan menggusur, eh para pedagang dibiarkan cari tempat dagang sendiri. Mereka marah. Wajar sih marah, wong mereka punya hak berdagang, karena sudah bayar retribusi.

Carut marut ini nggak akan pernah selesai selama Pemerintah nggak konsisten dengan aturan. Selama Gubernur atau Menteri atau Presiden menganggap hal kecil ini tetap kecil, selama itu pula kondisi ini tetap bertahan. Kita jadi membenarkan sesuatu hal yang sebenarnya salah.

"Maklumlah, kita kan sama-sama cari makan..."

Jumat, 13 November 2009

DAN LOKASI BENCANA PUN BERUBAH JADI OBJEK WISATA...

Ternyata niat orang buat datang ke lokasi bencana Situ Gintung, Cireundeu, Tangerang Selatan, macam-macam. Ada yang niatnya buat menyumbang, entah itu menyumbang tenaga buat membantu mencari korban tewas atau hilang, atau menyumbang uang, pakaian, dan makanan. Ada yang menyumbang doa. Ada pula yang menyumbang lagu. Eh, ini bohong, ding! Yang benar ada anggota keluarga yang datang buat mencari keluarga yang masih hilang entah kemana. Banyak pula yang niat datang jauh-jauh buat jalan-jalan ke lokasi bencana.

Hah?! jalan-jalan?! Sumpe loe, cin?!

"Ya, gitu deh! Maklum orang Indonesia. Biasa kalo ada bencana, malah sibuk nontonin..."



Tapi sebenarnya sih nggak ada yang salah juga dengan niat mereka, termasuk mereka yang cuma datang buat lihat-lihat. Itu hak mereka, kok. Ya nggak? Nggak ada peraturan Pemerintah yang melarang kedatangan mereka ke lokasi bencana. Kalo kita positif thinking, jangan-jangan mereka itu datang buat melatih kepekaan sosial. Berharap dengan datang ke situ, mereka malah tambah peduli dengan sesama, atau bisa mengantisipasi diri kalo ada bencana datang. Buat orangtua yang mengajak anak-anak mereka, juga mungkin ingin menanamkan rasa sosial pada anak. Bahwa nggak ada yang bisa mengalahkan keperkasaan Tuhan. Mau rumah orang kaya, kalo Tuhan berkehendak, tembok rumah yang tebal pun akan rubuh.




Nggak peduli jalanan becek dan berlumpur, orang-orang ini berdatangan silih berganti. Sambil menenteng sandal, yang penting bisa lihat secara langsung TKP.



Pemandangan Ibu atau Bapak menggendong anak di lokasi, udah bukan hal luar biasa. Anak-anak ikut dilibatkan ke TKP. Berharap sense of crisis atau sense of humanity terbangun. Jangan sampai kayak Caleg-Caleg atau Capres-Capres yang pas kampanye aja carmuk alias cari muka, eh begitu terpilih nggak punya sense of crisis, lupa!


By the way busway, lucu juga sih melihat jibunan orang yang kepentingannya cuma lihat-lihat. Kayak-kayaknya, mereka memposisikan lokasi bencana di Situ Gintung bak objek wisata, dimana mereka bisa melihat tembok rumah gedong rubuh, ada mobil jip nyangsang di kawat listrik, kotak telepon umum hancur lebur, dan masih banyak lagi pemandangan yang mereka anggap sebagai objek wisata.

Banyak orangtua yang datang bersama anak mereka. Sambil digendong, anak-anak yang punya orangtua ini dijelaskan nggak cuma soal ikwal terjadinya bencana. Tapi anak-anak juga diajak mengingat sejarah Situ Gitung ini.




Mau rumah gedong, kek! Mau jalanan beraspal, kek! Tetap aja nggak bisa mengalahkan pasukan air made in Situ Gintung. Semua hancur lebur.





Percaya nggak percaya, mobil jip yang nyangkut di kabel listrik di atas kuburan ini, datangnya dari rumah yang jauh dari TKP. Lihat pula ada kambing. Itu bukan patung, tapi kambing hidup yang tewas dan jadi bangkai dalam kondisi mulut nyengir.


“Situ Gintung ini udah dibangun sejak zaman Belanda, Nak,” kata salah seorang Bapak. “Kira-kira tahun 30-an, deh. Tujuannya buat menyediakan kebutuhan air di wilayah sekitar sini, yakni di Kelurahan Cireundeu, kecamatan Ciputat, Tanggerang Selatan, Banten.”

Lanjut Bapak tua itu, lokasi Situ Gintung berada di RW 11 Kampung Gunung, Cireundeu. Hebatnya, Kampung yang didiami oleh 2.600 warga atau 700 keluarga ini, nggak terkena pasukan air sedikit pun. Soalnya, Kampung Gunung lokasinya lebih tinggi dari Kampung Poncol dan Kampung Gintung. Sekitar 300-an rumah di dua kampung itu rusak berat. Kalo kita lihat, kejadiannya mirip kayak tsunami di Aceh. Selain dua kampung itu, dua perumahan yang berada di tepi Kali Pesanggrahan juga kena musibah, yakni Perumahan Cirendeu Permai dan Perumahan Bukitt Pratama.

Kalo ditelusuri lebih jauh, ternyata bukan cuma para orang tua dan anak-anak yang datang, beberapa anak muda pun ada di lokasi objek wisata, ups maaf lokasi bencana Situ Gintung ini. Kayak-kayaknya mereka itu masih pacaran. Soalnya mesra banget. Beda kan kalo udah married biasanya nggak semesra pas pacaran. Nah, sambil berpegangan tangan, mereka itu melihat rumah roboh, pohon roboh, jalan aspal terbelah dua, dan pagar ambrol. Kalo ada objek yang menarik, mereka langsung mengambil handphonenya dan foto-foto. Bener-benar mirip suasana di sebuah objek wisata.

Namun, sejumlah Aparat dan Regu Penolong akhirnya menginstruksikan kepada sejumlah warga, agar nggak usah jalan-jalan ke lokasi bencana lagi. Kenapa? Ini akan menyulitkan pencarian orang-orang hilang di sekitar situ, karena terlalu banyak orang. Kalo kebetulan ada orang yang memang niatnya menyumbang atau mengetahui status keluarga, nggak perlu datang ke lokasi. Panitia udah menyediakan posko. Kalo minta info eksistensi keluarga, bisa melihat daftarnya di Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta Selatan. Kalo niat mau nyumbang, sumbangan bisa diberikan di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Achmad Dahlan atau posko Universitas Muhammadyah Jakarta (UMJ). So, for a while objek wisata Situ Gintung ditutup dulu ya, cin!


all photos and video copyright by Brillianto K. Jaya

SEDIA KARUNG SEBELUM HUJAN


Lumrah saja kalo manusia perlu payung kalo hujan. Sekarang kalo bukan manusia? Apa yang diperlukan kalo musim hujan kayak begini? Saudara-saudara sekalian setanah air beta, karung adalah item yang sangat bermanfaat buat menjeggal air supaya nggak masuk ke rumah tanpa izin. Karung-karung ini akan membantu kita agar rumah terbebas dari air banjir. Mungkinkah? Entahlah! Yang pasti, saat ini eksistensi karung begitu dibutuhkan. Sampai-sampai sebuah apartemen di bilangan Gatot Subroto butuh banyak karung, supaya apartemen itu nggak kebanjiran.

AGUSTUSAN DI KAMPUNG OGUT

Meski serba kekurangan, tapi tetap semangat. Itulah yang bisa gw gambarkan tiap kali perayaan ulangtahun kemerdekaan Republik Indonesia di kamung gw, Cempaka Putih Barat RT 02 RW 07, Jakarta Pusat. Kondisi ini sebenarnya merupakan cermin dari mayoritas rakyat Indonesia.

Meski sebagian orang menganggap kita sudah maju, tapi realitanya belum sepenuhnya begitu. Masih banyak rakyat kita yang belum merdeka. Mereka belum mendapat hak sepenuhnya sebagai warga negara. Hak mendapatkan pendidikan gratis. Hak mendapatkan pelayanan kesehatan, dan hak-hak lain.

Lepas dari itu, warga tetap mencintai Indonesia. Warga tetap antusias menyambut HUT RI ke-64 tahun ini. Di kampung gw, semangat gotong royong, semangat buat mengikuti perlombaan begitu mengharukan. Padahal gw tahu banget, di luar dari kegembiraan ini, mereka seringkali menangisi hidup mereka sehari-hari.

Berikut ini, gw tampilkan galeri foto-foto saat perlombaan 17 Agustusan. Seru dan menegangkan. Selamat menikmati!


Lomba mengambil uang di melon. Biasanya lomba ambil uang ini menggunakan bola plastik. Tapi berhubung melon lebih mudah, maka bola plastik nggak digunakan. Baru juga diumumkan perlombaan, yang mau ikut serta banyak minta ampun, terutama laki-laki. Gokilnya, mereka langsung buka baju siap-siap bertanding. Ternyata kalo urusan duit, nggak cuma orangtua yang "hijau" matanya, anak-anak juga!






Sama-sama memperhatikan juri menghitung jumlah belut. Emang ngapain menghitung belut? Dalam rangka lomba memasukkan belut ke dalam botol kalee!






Lomba memasukkan paku ke dalam botol.






Ada juga ibu yang protes sama MC-nya gara-gara anaknya nggak menang. Tapi dasar MC, diprotes begitu, doi tetap berkoar-koar. Yang ada seluruh warga ketawa terpingkal-pingkal. Katanya MC: "Kalo mo protes ke Pak RT aja atau Pak Lurah, jangan ke gw!"




Penonton "VVIP" duduk di tembok rumah tetangga.


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

ATM SEGEL

Saat ini banyak banget papan merah yang dipasang oleh Pemerintah Daerah –tepatnya Dinas Pengawasan dan Penertiban Provinsi DKI Jakarta- buat menyegel tempat-tempat yang “nakal”. Maksudnya, tempat yang melakukan alih fungsi, dari rumah tinggal menjadi tempat usaha. Padahal lokasi tempat tinggal yang “nakal” ini nggak punya izin buat melakukan usaha, yang seharusnya cuma diperuntukan buat rumah tinggal. Tapi cuma di Indonesia yang bisa begini!



Ketika gue jalan-jalan di wilayah dekat Blok M, setidaknya ada dua rumah disegel. Rumah pertama terletak di Hang Tuah Raya, Jakarta Selatan, yakni sebuah toko yang gue tahu udah lama sekali beroperasi. Lokasi kedua, persis di seberang lapangan tenis Pati Unus. Anehnya meski ada papan segel segede-gede “raksasa” bertuliskan TIDAK SESUAI PENGGUNAAN, dua rumah itu tetap beroperasi, yakni melakukan usaha seperti biasa. Nah, lho?! Padahal juga, ada Undang-Undang yang bisa menjerat pemilik usaha tersebut, yakni SK Gubernur KDKI nomor 1068 tahun 1997 dan PERDA no 7 tahun 1991.

Rumah pertama masih memajang sapanduk bertuliskan diskon 50% produk tas branded. Rupanya rumah yang sebelumnya sempat jadi tempat jualan kue, sekarang jadi factory outlet khusus tas branded kayak Jimmy Choo, Gucci, Valentino, Bottega Vaneta, dll. Gokil nggak udah disegel masih promosi 50%, bo?! Rumah kedua, dijadikan usaha makanan. Kebetulan pagi tadi gue lihat beberapa orang makan bubur di situ. Sementara ada beberapa motor gede –mungkin motor Harley Davidson atau motor bebek yang digedein kayak Harley- nongkrong di situ. Dalam hati gue, widih hebring bener, udah disegel masih tetap beropersi.

Menurut loe, kenapa ya kok dua rumah itu –dan barangkali rumah-rumah lain di Jakarta ini- tetap beroperasi meski udah disegel? Pasti aparat Pemda tahu dong? Kata temen gue, bangunan-bagunan yang disegel itu ibarat "ATM Segel". Ngerti kan maksudnya? Kalo aparat lagi nggak ada uang, cukup datangi bangunan yang disegel itu, mirip kalo kita pergi ke ATM. Masukkan kartu ATM, pencet pin, pilih jumlah uang, keluar deh uangnya!

All photos copyright by Brillianto K. Jaya

YANG PENTING BISA PARKIR


Mentang-mentang ada tanah kosong dan nggak dibuatkan jalan khusus buat pejalan kaki, truk-truk ini parkir di pinggir jalan Pemuda, Jakarta Timur. Gue yakin awalnya yang parkir cuma satu-dua truk, tetapi lama kelamaan diizinkan parkir, pemilik truk menambah jumlah truk lagi, apalagi bisnis penyewaan truk cukup menggiurkan.

Gue yakin banget, aparat kelurahan atau kecamatan jalan Pemuda situ udah tahu ada banyak truk yang parkir di sepanjang jalan Pemuda. Tetapi gue yakin, pasti ada kongkalikong pengusaha truk itu dengan oknum aparat. Memang sih selama ini nggak kelihatan mengganggu, tapi kalo lahan yang buat parkir itu dipergunakan untuk membanggun trotoar buat para pejalan kaki, sungguh sangat bermanfaat. Sayang pejalan kaki nggak ada duitnya, so jangan heran kalo aparat mending pilih pengusaha truk, deh.


Mumpung lagi ada pembangunan saluran air, lingkaran yang terbuat dari beton yang nantinya akan dijadikan saluran air ini dimanfaatkan buat parkir. Foto ini gue ambil di seberang Bengkel Cafe, Kawasan Sudirman Central Bussiness District (SCBD), Sudirman Jakarta.


Masih di Kawasan SCBD, ada sebuah terowongan yang sebenarnya sudah jadi, ternyata tidak dipergunakan. Kalo lihat arah jalannya, terowongan ini menghubungkan dari arah Widya Candra (kompleks Menteri) ke arah jalan Sudirman, Jakarta Pusat. Oleh karena nggak digunakan, maka terowongan ini dimanfaatkan buat parkir motor para karyawan yang kebetulan kantornya sekitar terowongan ini, antara lain karyawan JakTV atau Electronic City.


All photos copyright by Brillianto K. Jaya

MERAMPAS HAK PEJALAN KAKI

Nggak semua orang yang bermobil otaknya lebih pintar daripada mereka yang cuma punya motor. Kedisiplinan orang nggak bisa diukur dari kelas sosial. Mau pake mobil kek, atau motor, kalo dasarnya orang tersebut punya otak bego, ya bego aja. Bego dalam konteks ini dalam soal kedisiplinan.

Anda pasti seringkali melihat mereka yang bermobil membuang sampah di jalan. Entah mereka sadar atau memang prilaku mereka sulit buat diubah, aneka sampah (tisu bekas, puntung rokok, plastik, botol aqua, dll) dibuang dari balik jendela mobil. Bego kan? Ada lagi hal bego yang juga dilakukan kaum bermobil yang selalu gue temukan tiap pagi di jalan tol, yakni menerobos bahu jalan.

Gue yakin banget, tingkat intelektual kaum bermobil cukup bisa diandalkan, meski hal ini perlu pembuktian lebih lanjut. Tetapi mereka pasti bisa baca dan nggak buta huruf kalo bahu jalan cuma buat keadaan darurat, bukan buat mengejar waktu buat cepat sampai ke kantor. Mereka bukan saja membahayakan diri, tapi karena kebegoan mereka bisa membahayakan orang lain, yang jelas-jelas bersama-sama “menikmati” kemacetan.

Bagaimana dengan motor? Gue yakin, dari 100% pengguna motor yang benar-benar disiplin cuma 10%. Nggak cuma selalu memakai helm –karena pakai helm bukan cuma kewajiban atau supaya nggak ditilang polisi, tapi kebutuhan buat diri pengguna-, tapi nggak melawan arus, menerobos lampu merah atau verboden, berada di jalur cepat, dan masih banyak lagi. Ironisnya, banyak orang yang memilih menggunakan motor cuma buat melakukan hal-hal yang seringkali melanggar kedisiplinan. Yang penting cepat sampai kantor atau tujuan, menerobos it’s ok. Nah, lho?!




Setiap hari ada aja yang gue temukan para pemilik yang nggak disiplin. Sekarang ini gue amati, orang yang mencoba disiplin malah dianggap bego. Menunggu di garis stop pada saat lampu masih berwarna merah, eh di belakang udah pada klakson-klakson. Berada di belakang mobil dengan jarak aman, eh malah diklakson-klason juga, karena dianggap kurang mepet dengan mobil depan. Padahal kalo mobil depan mundur, yang salah tetap mobil di belakangnya, karena berhenti terlalu mepet di belakang. Yang paling gondok, kalo kita mengambil jarak aman, ada mobil yang bakal menyerobot atau menyalip kita. Kita dipotong gitu, maksudnya.

Foto yang gue jepret ini berada di jalan Cikini, Jakarta Pusat. Berkali-kali kalo ke Taman Ismail Marzuki (TIM), gue pasti melihat ada mobil dan motor yang diparkir di trotoar. Gue menggambil kesimpulan, di situ ada kantor, dimana kantor itu nggak ada lahan parkir. Daripada parkir di tempat lain yang mungkin lebih jauh, para pemilik kendaraan di kantor tersebut memanfaatkan trotoar yang ada di depan kantor. Walhasil, trotoar pun nggak bisa lagi dipergunakan sebagai tempat buat pejalan kaki. Hak pejalan kaki dirampas. Bego kan pemilik mobil dan motor di kantor itu?

Sayang, meski udah ketahuan sama-sama bego, Komisi Nasional (Komnas) Hak Azasi Manusia (HAM) nggak membela hak pejalan kaki yang dirampas oleh pemilik kendaraan bermotor itu. Padahal Komnas HAM bisa menggunakan Undang-Undang Lalu Lintas no 22/ Tahun 2006 soal hak pejalan kaki menggunakan trotoar ini.

GALI LUBANG TUTUP LUBANG

Nggak cuma individu kayak kita, negara pun selalu menjalankan ideologi “gali lubang tutup lubang”. Giliran kepepet atau perlu kudu membuka lubang, tetapi kudu berkewajiban menutup lubang lagi. Begitu seterusnya.

Kalo individu, biasanya mengali lubang dalam rangka menginginkan sesuatu, tetapi nggak punya duit. Misal, mau beli Kulkas tetapi nggak kuat beli cash, terpaksa ngutang pake credit card atau mencicil pake bank yang kebetulan mau menalangi cicilan Kulkas individu tersebut. Konteks menggali lubang di sini adalah berhutang.

Kata orang, berhutang itu “tantangan”. Mana enak hidup di dunia nggak ada “tantangan”? Menurut gue, pernyataan ini naif. Kenapa? Tantangan jelas perlu. Tetapi tantangan yang seperti apa dulu? Kalo tantangan buat sesuatu yang membuat kita berkembang, entah itu buat karir (mengambil pekerjaan baru), masa depan (investasi di berbagai bidang: property, dll), atau menguntungkan buat orang banyak (membangun masjid, mendonorkan darah, dll), itu baru namanya tantangan dan luar biasa biasa sekali kalo kita lakukan. Kalo buat sesuatu yang sebetulnya nggak penting-penting amat, ya gue pikir berhutang bukan jadi “tantangan” lagi.


Ini lubang yang ada di tengah jalan, tepatnya di perempatan jalan Salemba Raya, persis depan Jamu Mentjos dan dekat RS Thamrin.

Menurut gue gokil banget membuat lubang di tengah-tengah jalan kayak begini. Mending luibangnya kecil, ini mah gede banget. Bikin macet! Yaiyalah, wong mobil yang mau lurus kudu berzig-zag dulu melewati lubang itu.

Namun orang kayak kita ternyata lebih suka ngutang. Mending pada saat ngutang, kita memikirkan cara bayarnya. Yang ada kebanyakan, ngutang dulu, baru mikir. Nggak heran yang terjadi selanjutnya, membuat kartu kredit dalam rangka menutup hutang-hutang sebelumnya. Inilah yang kita analogikan sebagai “gali lubang tutup lubang”. Padahal kalo “menutup lubang”-nya dengan cara membuat kartu kredit, tanpa kita sadari itu bukan “menutup lubang”, tetapi justru membuat “lubang-lubang” baru. Begitu “lubang-lubang” itu melebar, kita bisa kejeblos ke dalamnya.

Seharusnya kata para Financial Planner, cara ampuh “menutup lubang” salah satunya adalah merencanakan pengeluarkan kita dari gaji kita. Duapuluh persen, at least 10% dari penghasilan kita kudu ditabung. Sisanya buat kebutuhan sehari-hari dan membayar hutang. Kalo nggak sanggup sampai 10%, ya turunkan lagi persentasenya menjadi 5%. Intinya, kita kudu menabung. Namun anak-anak muda first jobber atau kaum penggila gadget justru lebih mengutamakan gaya dulu, ketimbang investasi di masa depan.

Soal masa depan yang nggak dipikirkan, juga dialami oleh negara. Negara –dalam hal ini pemerintah- selalu saja nggak punya visi. Contoh kecil dalam note ini adalah soal lubang-lubang yang selalu digali tiap 6 bulan sampai 1 tahun sekali. Kalo nggak PAM, ya Telkom. Kalo nggak Telkom, ya PLN. Perusahaan-perusahaan itu selalu saja membuat lubang di jalan. Hari ini digali, beberapa hari kemudian ditutup. Enam bulan kemudian digali lagi lubangnya, trus ditutup lagi. Begitu seterusnya.

“Nyari proyek!”

Memang bukan rahasia umum lagi, kalo konsep gali lubang tutup lubang yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tersebut di atas dalam rangka cari proyek. Siapa sih yang mau membuat proyek yang sekali seumur hidup? Artinya sekali menggali dan menutup lubang, nggak akan ada lagi penggalian-penggalian lagi. Nobody! Nggak ada orang yang mau, semua orang selalu ingin mencari-cari proyek. Padahal penggalian-penggalian itu belum tentu menyelesaikan masalah, baik itu masalah soal mati listrik atau air PDAM yang seringkali mati-mati juga. Bukan begitu bukan?

GEDUNG BOLEH WANGI, MUSHOLA-NYA BAU APEK

Percayalah! Ini adalah sebuah ruang peribadatan kaum muslim yang lazim disebut mushola. Lokasi mushola ini bukan di sebuah kampung padat penduduk atau gang sempit, tetapi di sebuah gedung megah, dimana gedung tersebut berada di sebuah kompleks yang terdapat hotel bintang lima di kawasan Thamrin.

Barangkali buat Anda yang sering sholat, mushola kayak begini masih dibilang bagus. Saya setuju! Masih banyak mushola-mushola yang kondisinya lebih miris dari mushola yang ada di foto ini.



Saya pernah numpang sholat di salah satu cafe di berada di Tebet. Mereka memang punya tempat sholat, tetapi tempat sholatnya di sebuah ruang yang ngepas banget dengan selembar sajadah. Artinya, yang sholat harus bergantian satu per satu. Nggak bisa berjamaah. Udah begitu, tempat sholat ini bercampur dengan tempat helm dan jaket para karyawan cafe itu. Saya kira, tempat sholat ini adalah gudang yang difungsikan sebagai tempat sholat.

Ketika magrib menjelang, saya juga pernah numpang sholat di sebuah bar di bilangan Kemang. Nah, yang ini lucu. Ketika saya tanya mushola atau tempat sholatnya dimana, hampir seluruh karyawan kebingungan. Saya yakin banget seluruh karyawan di bar itu nggak pernah sholat. Jadi pada saat saya mendaptakan tempat buat sholat di bar itu, saya udah nggak kaget lagi. Anda tahu tempat sholat yang ditunjukan oleh seorang karyawan bar ini? Di tangga darurat!

Bagi Anda yang seringkali melakukan sholat di gedung maupun di pusat perbelanjaan, perhatikanlah mushola-mushola-nya, pasti lokasinya di basement. Mending kalo di basement ruang mushola-nya nyaman, ber-AC dan nggak bau apek, ini mah malah sebaliknya, mirip gudang.

Apa artinya? Artinya sholat bukan menjadi prioritas si pemilik gedung atau pusat perbelanjaan. Boleh jadi di pemilik gedung itu non-muslim. Tetapi saya yakin, nggak semua owner gedung non-muslim. Sayangnya, meski si pemilik muslim, ia pun nggak memprioritaskan sholat di tempat yang terhormat. Nggak heran mushola diletakkan di basement atau tempat parkir, yang bau apek dan panas, sebagaimana mushola yang saya foto ini, yakni mushola yang berada di sebuah gedung megah yang berada di jalan Thamrin, Jakarta Pusat.

Salah satu mushola yang saya suka adalah di Plaza Senayan. Meski berada di tempat parkir, tetapi musholanya nggak apek dan terdapat penyejuk udaranya, sehingga jama’ah nyaman berada di mushola itu. Di mushola ini, ada seorang penjaga yang selalu menggunakan peci dan mengucapkan “Terima kasih dan Assalamu’alaikum” pada kita begitu kita selesai sholat. Tempat wudhunya pun terpisah dengan tempat jama’ah keluar begitu selesai sholat. Nggak ada yang tabrakan antara jalur mau sholat dengan jalur yang sudah selesai sholat.