Meski di tembok sudah jelas-jelas dilarang memberi tip, kita tetap punya rasa nggak enak pada petugas parkir, ya nggak? Kita tetap ngasih duit, ya minimal 500 perak. Syukur-syyukur bisa ngasih 1.000 atau 2.000 perak. Kita pasti punya rasa kasihan.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhC6iPrXtfPReX4yDEBjG55-jknG-pXmmNCFmS3Nuv3hcLYQeKt9W_9gQ_B4wOOlCYJivx0fhAcR4X-K7biKlH2I1SEFX1_IYICZrO429x7mL-bo_Y93Azo4KaiQ1Jjbzh82uwjR8SreAc/s400/M2+square2.jpg)
"Kasihan ah sudah membantu kita parkirin mobil. Ngasih duit seribu nggak bikin kita miskin kan?"
Memang sih nggak miskin, tetapi kebiasaan melanggar dari rasa tidak enak itulah yang melahirkan mental-mental pelanggar. Orang Indonesia jadi terbiasa melanggar. Betul nggak sih?
"Ah, cuma begitu doang, kok. Nggak menyusahkan orang kan?"
"Ya, itung-itung bagi-bagi rezeki lah."
Begitulah alasan kita ketika melakukan "pelanggaran" kecil-kecilan dengan memberikan tip, termasuk saya kadang-kadang melakukan hal yang sama. Kondisi kayak begini, rasanya cuma ada di Indonesia.
photo copyright by Brillianto K. Jaya