Nggak cuma individu kayak kita, negara pun selalu menjalankan ideologi “gali lubang tutup lubang”. Giliran kepepet atau perlu kudu membuka lubang, tetapi kudu berkewajiban menutup lubang lagi. Begitu seterusnya.
Kalo individu, biasanya mengali lubang dalam rangka menginginkan sesuatu, tetapi nggak punya duit. Misal, mau beli Kulkas tetapi nggak kuat beli cash, terpaksa ngutang pake credit card atau mencicil pake bank yang kebetulan mau menalangi cicilan Kulkas individu tersebut. Konteks menggali lubang di sini adalah berhutang.
Kata orang, berhutang itu “tantangan”. Mana enak hidup di dunia nggak ada “tantangan”? Menurut gue, pernyataan ini naif. Kenapa? Tantangan jelas perlu. Tetapi tantangan yang seperti apa dulu? Kalo tantangan buat sesuatu yang membuat kita berkembang, entah itu buat karir (mengambil pekerjaan baru), masa depan (investasi di berbagai bidang: property, dll), atau menguntungkan buat orang banyak (membangun masjid, mendonorkan darah, dll), itu baru namanya tantangan dan luar biasa biasa sekali kalo kita lakukan. Kalo buat sesuatu yang sebetulnya nggak penting-penting amat, ya gue pikir berhutang bukan jadi “tantangan” lagi.
Ini lubang yang ada di tengah jalan, tepatnya di perempatan jalan Salemba Raya, persis depan Jamu Mentjos dan dekat RS Thamrin.
Menurut gue gokil banget membuat lubang di tengah-tengah jalan kayak begini. Mending luibangnya kecil, ini mah gede banget. Bikin macet! Yaiyalah, wong mobil yang mau lurus kudu berzig-zag dulu melewati lubang itu.
Namun orang kayak kita ternyata lebih suka ngutang. Mending pada saat ngutang, kita memikirkan cara bayarnya. Yang ada kebanyakan, ngutang dulu, baru mikir. Nggak heran yang terjadi selanjutnya, membuat kartu kredit dalam rangka menutup hutang-hutang sebelumnya. Inilah yang kita analogikan sebagai “gali lubang tutup lubang”. Padahal kalo “menutup lubang”-nya dengan cara membuat kartu kredit, tanpa kita sadari itu bukan “menutup lubang”, tetapi justru membuat “lubang-lubang” baru. Begitu “lubang-lubang” itu melebar, kita bisa kejeblos ke dalamnya.
Seharusnya kata para Financial Planner, cara ampuh “menutup lubang” salah satunya adalah merencanakan pengeluarkan kita dari gaji kita. Duapuluh persen, at least 10% dari penghasilan kita kudu ditabung. Sisanya buat kebutuhan sehari-hari dan membayar hutang. Kalo nggak sanggup sampai 10%, ya turunkan lagi persentasenya menjadi 5%. Intinya, kita kudu menabung. Namun anak-anak muda first jobber atau kaum penggila gadget justru lebih mengutamakan gaya dulu, ketimbang investasi di masa depan.
Soal masa depan yang nggak dipikirkan, juga dialami oleh negara. Negara –dalam hal ini pemerintah- selalu saja nggak punya visi. Contoh kecil dalam note ini adalah soal lubang-lubang yang selalu digali tiap 6 bulan sampai 1 tahun sekali. Kalo nggak PAM, ya Telkom. Kalo nggak Telkom, ya PLN. Perusahaan-perusahaan itu selalu saja membuat lubang di jalan. Hari ini digali, beberapa hari kemudian ditutup. Enam bulan kemudian digali lagi lubangnya, trus ditutup lagi. Begitu seterusnya.
“Nyari proyek!”
Memang bukan rahasia umum lagi, kalo konsep gali lubang tutup lubang yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tersebut di atas dalam rangka cari proyek. Siapa sih yang mau membuat proyek yang sekali seumur hidup? Artinya sekali menggali dan menutup lubang, nggak akan ada lagi penggalian-penggalian lagi. Nobody! Nggak ada orang yang mau, semua orang selalu ingin mencari-cari proyek. Padahal penggalian-penggalian itu belum tentu menyelesaikan masalah, baik itu masalah soal mati listrik atau air PDAM yang seringkali mati-mati juga. Bukan begitu bukan?
Apa Sih Beda Kebab Turki dengan Kebab Yordania?
3 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar