Jumat, 13 November 2009

MERAMPAS HAK PEJALAN KAKI

Nggak semua orang yang bermobil otaknya lebih pintar daripada mereka yang cuma punya motor. Kedisiplinan orang nggak bisa diukur dari kelas sosial. Mau pake mobil kek, atau motor, kalo dasarnya orang tersebut punya otak bego, ya bego aja. Bego dalam konteks ini dalam soal kedisiplinan.

Anda pasti seringkali melihat mereka yang bermobil membuang sampah di jalan. Entah mereka sadar atau memang prilaku mereka sulit buat diubah, aneka sampah (tisu bekas, puntung rokok, plastik, botol aqua, dll) dibuang dari balik jendela mobil. Bego kan? Ada lagi hal bego yang juga dilakukan kaum bermobil yang selalu gue temukan tiap pagi di jalan tol, yakni menerobos bahu jalan.

Gue yakin banget, tingkat intelektual kaum bermobil cukup bisa diandalkan, meski hal ini perlu pembuktian lebih lanjut. Tetapi mereka pasti bisa baca dan nggak buta huruf kalo bahu jalan cuma buat keadaan darurat, bukan buat mengejar waktu buat cepat sampai ke kantor. Mereka bukan saja membahayakan diri, tapi karena kebegoan mereka bisa membahayakan orang lain, yang jelas-jelas bersama-sama “menikmati” kemacetan.

Bagaimana dengan motor? Gue yakin, dari 100% pengguna motor yang benar-benar disiplin cuma 10%. Nggak cuma selalu memakai helm –karena pakai helm bukan cuma kewajiban atau supaya nggak ditilang polisi, tapi kebutuhan buat diri pengguna-, tapi nggak melawan arus, menerobos lampu merah atau verboden, berada di jalur cepat, dan masih banyak lagi. Ironisnya, banyak orang yang memilih menggunakan motor cuma buat melakukan hal-hal yang seringkali melanggar kedisiplinan. Yang penting cepat sampai kantor atau tujuan, menerobos it’s ok. Nah, lho?!




Setiap hari ada aja yang gue temukan para pemilik yang nggak disiplin. Sekarang ini gue amati, orang yang mencoba disiplin malah dianggap bego. Menunggu di garis stop pada saat lampu masih berwarna merah, eh di belakang udah pada klakson-klakson. Berada di belakang mobil dengan jarak aman, eh malah diklakson-klason juga, karena dianggap kurang mepet dengan mobil depan. Padahal kalo mobil depan mundur, yang salah tetap mobil di belakangnya, karena berhenti terlalu mepet di belakang. Yang paling gondok, kalo kita mengambil jarak aman, ada mobil yang bakal menyerobot atau menyalip kita. Kita dipotong gitu, maksudnya.

Foto yang gue jepret ini berada di jalan Cikini, Jakarta Pusat. Berkali-kali kalo ke Taman Ismail Marzuki (TIM), gue pasti melihat ada mobil dan motor yang diparkir di trotoar. Gue menggambil kesimpulan, di situ ada kantor, dimana kantor itu nggak ada lahan parkir. Daripada parkir di tempat lain yang mungkin lebih jauh, para pemilik kendaraan di kantor tersebut memanfaatkan trotoar yang ada di depan kantor. Walhasil, trotoar pun nggak bisa lagi dipergunakan sebagai tempat buat pejalan kaki. Hak pejalan kaki dirampas. Bego kan pemilik mobil dan motor di kantor itu?

Sayang, meski udah ketahuan sama-sama bego, Komisi Nasional (Komnas) Hak Azasi Manusia (HAM) nggak membela hak pejalan kaki yang dirampas oleh pemilik kendaraan bermotor itu. Padahal Komnas HAM bisa menggunakan Undang-Undang Lalu Lintas no 22/ Tahun 2006 soal hak pejalan kaki menggunakan trotoar ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar